Unforgotten Monochrome


Unforgotten monochrome
Nama saya Isella Siregar , saya adalah pribadi yang ceria, passionate, dan pada saat yang bersamaan Tuhan meanugerahkan sebuah pekerjaan yang sangat saya dambakan dari dulu, yaitu menjadi seorang strategic planner disebuah perusahaan advertising. Saya sangat enjoy dengan pekerjaannya, lingkungannya, sistemnya, dan semuanya hampir terasa sempurna hingga suatu hari serangan penyakit aneh muncul menyerang alam bawah sadar saya. Penyakit  itu adalah Major Depressive Disorder atau yang kita lebih kenal disebut depresi.
Singkat cerita saya terkena serangan psikotik yang membuat saya melakukan keputusan di bawah alam bawah sadar saya untuk resign dari tempat saya bekerja.

Psikotik adalah istilah medis yang merujuk pada keadaan mental yang terganggu oleh delusi atau halusinasi. Delusi adalah kesalahpahaman atau pandangan yang keliru terhadap suatu hal, sementara halusinasi adalah persepsi kuat atas suatu peristiwa yang dilihat atau didengar padahal sebenarnya tidak ada.” (hellosehat.com)

Psikiater 1
Ketidakberesan  dalam diri saya disadari cepat oleh ayah saya. Dan beliau sesegera mungkin menghubungi psikiater di salah satu Rumah Sakit Swasta . Saya sangat ketakutan dengan halusinasi yang menyerang saya.
Hari demi hari saya lewati dengan obat yang tiap harinya saya minum, untuk memulihkan kondisi saya, saya tidak diperbolehkan untuk membuka email, social media, handphone hingga waktu yang di tentukan.
Tak terasa sudah 3 bulan berlalu. Hanya ada saya, dan tanda tanya besar yang menghantui saya. Hampir 2 minggu 1 kali saya konsultasi ke psikiater dan itu saya lakukan selama 3 bulan. Psikiater memberikan motivasi selama 30 menit setiap konsultasi, dan pembicaraan basa-basi. Hingga suatu saat saya memberanikan diri untuk bertanya. “Sebenernya saya ini sakit apa sih dok?”. Dokterpun selalu mengalihkan pembicaraan lain setiap kali saya melontarkan pertaanyaan itu. Saya berasumsi bahwa saya terkena kekuatan gaib. Asumsi saya tersebut membuat saya meminta keluarga saya untuk mendatangkan pendeta ke rumah. Pendeta tersebut membacakan ayat kepada saya, mendoakan saya dan mengajak saya ngobrol. Sebelumnya keluarga saya telah memperingatkan saya untuk menyimpan rahasia penyakit saya. Sehingga saya pun tidak bisa terbuka untuk menceritakan apa yang terjadi kepada pendeta tersebut.
Bulan ke-empat dari penyakit saya. Optimisme perlahan mulai tumbuh, tetapi trauma masih menghantui. Terutama apabila saya melihat orang yang berpakaian kantor. Tubuh saya merasa tak berjiwa, rasanya seperti melayang-layang. Setiap langkah saya lakukan dengan perlahan karena saya kehilangan keseimbangan. “Mungkin jiwa saya belum menyatu,” kata saya dalam hati. Pada saat itu yang saya pikirkan adalah tanda tanya besar terhadap penyakit yang saya derita, dan persiapan jawaban yang harus saya lontarkan ketika seseorang bertanya kepada saya.
Bulan selanjutnya saya pun mulai membuka diri dengan dunia luar dan tentunya dengan sejuta kebohongan yang sudah saya siapkan untuk menjawab pertanyaan orang-orang. BUNGKAM! Itu yang ada di benak saya dan keluarga inti saya. Dokter dan keluarga menuntut diri saya untuk beraktivitas layaknya orang normal dan membungkam tentang hal yang saya alami. Sakit yang saya rasakan sulit sekali untuk dideskripsikan. Jadi saya hanya memilih untuk diam menahan rasa itu dan bungkam. Sesekali saya berderai air mata kepada keluarga saya dan menceritakan rasa yang saya rasakan. Mereka sulit sekali mencerna ucapan saya, saya pun bingung mendeskripsikannya. Hanya ada rasa empati yang ada diwajah mereka sambil menenangkan saya.
Saya sudah cukup muak karna saya tidak mendapat jawaban atas apa yang saya alami, maka dari itu saya memutuskan untuk mengganti psikiater.

Psikiater 2
Saya adalah pribadi yang memberi batasan tentang hal personal dan hal yang tidak personal maka dari itu timbul ketidak nyamanan saya dengan psikiater yang kedua. Saya juga diberikan tugas rumah untuk menceritakan tentang diri saya lebih dalam lagi. SEMUA! Dia ingin SEMUA cerita tentang diri saya dibongkar. Dari saya kecil hingga besar. NIHIL, hasilnya tak ada. Beliau tidak memberi tau apa yang terjadi terhadap diri saya. Bahkan dia malah mempunyai asumsi yang menurut saya tidak masuk diakal.  Saya pun menghabiskan sekitar 4-6 kali untuk berkonsultasi bersama beliau. Setiap konsultasi diberikan waktu 30 menit. Dan setiap 30 menit saya menghabiskan waktu dengan  ketidaknyamanan saya.

Candu yang tidak mengenakan
Obat! “jangan lupa minum obat ya!” itu kalimat yang selalu saya dengar tiap harinya. Obat, obat, dan obat. Pernah saya suatu kali tidak minum obat sehari saja,perasaan saya langsung sensitif, melankolis, dan sebagainya. Obat juga menjadi pertengkaran antara saya dan keluarga karna saya lalai.. Obat tidak pernah lepas dari gegaman saya setiap harinya. Semenjak saya sakit obat tidak boleh terputus seharipun! Itulah yang cukup membuat saya muak dengan penyakit saya. Dan lucunya saya minum obat yang tidak saya ketahui untuk menyembuhkan penyakit apa.
Batin saya meronta,” cukup saya tidak mau minum obat!”. Tapi mereka dan akal sehat saya berkata berbeda.

Psikiater 3
Tak terasa sudah setahun lebih saya “dihidupi” oleh obat tapi kali ini batin saya mulai membaik karena pada psikiater yang ke 3 di RS khusus kejiwaan saya telah menemukan jawaban atas tanda tanya besar yang dulu saya permasalahkan.
“Kamu kena serangan Depresi berat atau Major Depressive Disorder!” itu vonis yang diberikan dokter kepada saya. Setidaknya saya mulai tau apa yang ada didalam diri saya. Tidak puas pada pertanyaan saya, saya bertanya penyebab penyakit saya. Tapi dokter tersebut hanya berasumsi bahwa banyak faktor yang mempengaruhi depresi, yaitu lingkungan sosial, genetika, ketidak seimbangan cairan kimia otak, ketidak stabilan neotransmitter, dll. Hingga sekarang saya pun belum mendapat jawaban atas pertanyaan saya tersebut.

Surat Kecil untuk Mereka

Maaf, tapi aku harus bungkam”

“Maaf, tapi batinku menyuruhku untuk bersembunyi”

“Maaf, untuk setiap moment penting kalian yang tak kuhadiri”

“Maaf, untuk semua kebohongan yang aku ungkapkan”

“Jujur aku tak sanggup”

“Ketika aku bungkam disitulah aku semakin terpuruk”

“Tapi apa dayaku?”

“Bukankah kita masih hidup di ruang lingkup bahwa penyakit mental itu adalah aib?”

“Aib yang harus dibungkam seumur hidup dari lingkungan sosialnya.”

“Izinkan aku memakai tameng kebohongan.”

“Tameng yang akan melindungiku dari nyinyiran mereka”

“Mereka yang tidak tau bertapa sakitnya penyakit ini”

“Penyakit yang tidak terlihat oleh kasat mata”

“Penyakit yang sulit untuk dideskripsikan oleh kata”

“Penyakit yang sulit diekripsikan oleh telinga”

“Dan penyakit itu bernama Depresi”

Biarkanku berjuang melawannya”

“Dan doakanku agar menang melawannya”           
                                                                               

                                                    Selasa, 13 November 2018                                                             

Major Depressive Disorder
Mozaic dan monochrome itulah ilustrasinya.  Semua terbilang sangat random dan sulit untuk dideskripsikan oleh kata-kata. Saya hanya dihantui dengan  rasa tak menentu dan obat-obatan harus saya teguk tiap harinya. Ditambah lagi sebagai  penderita mental illnes saya harus bertahan hidup dengan sejuta rahasia yang harus saya bungkam karna saya tau penyakit ini masih tabu dan menjadi aib untuk sebagian besar orang.
Setiap rasa sakit yang rasakan hanya bisa saya pendam, bukan karna tidak mau cerita kepada orang-orang terdekat saya.  Tapi karna rasa sakit ini sulit dideskripsikan dengan kata-kata. 
"Aku liat kamu sudah sembuh kok", kata mereka. Ini yang mereka lihat secara kasat mata. Rasa sakit dan perjuangan ku melawan penyakit ini harus ku sembunyikan.
Mungkin saya sedikit membaik tapi banyak yang saya sembunyikan. Saya hanya ingin melihat mereka tersenyum karena tahu saya sudah mulai membaik.  Sisanya biar Yang Maha kuasa yang membantu proses pemulihan diri saya.



Proses Pemulihan Diri
Tidak mudah bagi saya melewati proses ini. Tapi support dari orang-orang terdekat saya menjadi alasan saya untuk berjuang lebih jauh dan lebih kuat lagi. Tak sekali dua kali mereka mengorbankan tetesan air mata dan doa terdalam untuk kesembuhan saya. Banyak usaha dari mereka untuk mendukung saya, termasuk memberi buku . Proses pemulihan diri saya lumayan dipengaruhi oleh sebuah buku. Buku tersebut adalah berjudul “Filosofi Teras” karya Henry Manampiring. (Buku tersebut akan saya jelaskan di blog saya selanjutnya).
Saya menyadari proses kesembuhkan saya dipengaruhi dengan saya bercerita. Dengan saya bercerita dan membuka diri saya merasa bahwa saya menjadi diri sendiri. Yang dulunya menyalahkan diri sendiri sekarang saya sudah mulai bisa berdamai dengan diri sendiri. Semua tidak lepas dari yang namanya proses hiingga saya bisa berada dititik seperti ini.


Mental Illness adalah aib?
Stigma negatif yang beredar dikalangan masyarakat sangat mempengaruhi  kesembuhan penderita mental illness. Hal ini sangat saya rasakan karena saya menjadi tidak bebas untuk menjadi diri sendiri. Padahal saya sebagai penderita Major Depressive Disorder merasa semakin tertekan ketika saya dipaksa untuk bungkam. Semakin bungkam semakin terpuruk lah saya. Tetapi stigma negatif masyarakat menggerogoti keberanian saya untuk menjadi saya sendiri, hingga saya menemukan suatu penggalan Quotes dari buku filosofi teras. 

“If you live according to what other think, you will never be rich.”-Seneca

Dari penggalan quotes itu saya mencoba bangkit keluar dari lubang hitam, menjadi diri saya sendiri, dan berjuang untuk menghancurkan stigma itu.  DUKUNGAN ORANG-ORANG SANGAT BERPENGARUH TERHADAP KESEMBUHAN PENDERITA, bayangkan seberapa menderitanya ketika seorang penderita harus bungkam karna takut judgement dari masyarakat. Dari cerita saya ini saya mengajak teman-teman pembaca untuk membantu saya menghancurkan stigma yang ada. Dengan membantu menghancurkan stigma tersebut secara tidak langsung kita membantu penderita dalam proses pemulihannya.  
Saya berharap cerita saya ini dapat menginspirasi teman-teman, baik yang sedang sama sama berjuang dan mengajak teman-teman yang sehat untuk menjadi bagian support system bagi penderita.

Let’s Break The Stigma Together!

Notes: Saya sangat sangat berterima kasih kepada mereka yang telah hadir dimasa masa proses gelap hidup saya. Menjadi Support system saya, rasa terima kasih saya bahkan tidak bisa saya deskripsikan, karena itu terlalu berarti dalam hidup saya. Terima Kasih!

Postingan Populer